24 Nov 2008

Baby Blues Tak Boleh Dipandang Enteng


Brooke Shields bukanlah satu-satunya wanita yang pernah mengalami gangguan emosi setelah melahirkan. Beberapa selebriti internasional seperti Sadie Frost, Elle McPherson, dan Kate Winslet mengaku mengalaminya. Begitu juga dengan presenter cantik Sophie Navita. Berabad sebelumnya, kondisi serupa juga dialami para ibu pada masa kehidupan Hippocrates, di abad ke 5 SM. Catatan medis yang ditulis bapak ilmu kedokteran ini menyebutkan secara detil tentang depresi ringan yang dialami oleh ibu yang baru melahirkan. Depresi ringan inilah yang belakangan lebih popular dengan istilah baby blues syndrome.

Sayangnya walau sudah dicatat dalam jurnal medis Hippocrates, sindroma ini tak terlalu dianggap penting. Kalaupun banyak yang mengalaminya, sering hanya dianggap sebagai efek samping dari keletihan setelah melahirkan. Padahal data penelitian di berbagai belahan dunia secara tegas menunjukkan 2/3 atau sekitar 50-75% wanita mengalami baby blues syndrome. Besarnya angka ini menurut Dr. dr. Irawati Ismail Sp.Kj, MEpid, dari Bagian Psikiatri FKUI, menunjukkan bahwa baby blues syndrome adalah gangguan yang sering terjadi. “Sayangnya jarang dirujuk ke ahli kejiwaan,” katanya menekankan.

Khusus di Indonesia kurangnya perhatian terhadap masalah ini semakin diperparah oleh anggapan awam yang keliru. Tidak sedikit orang yang menganggap baby blues syndrom hanya dialami orang wanita-wanita di luar Indonesia. “Nenekmu punya anak banyak tapi tidak pernah mengalaminya. Mungkin kamu hanya manja saja!” Begitulah komentar yang sering kita dengar. Kemudahan menyewa jasa pengasuh anak serta masih kentalnya tradisi membantu kerabat yang baru melahirkan, semakin memperkuat keyakinan kalau wanita Indonesia ‘kebal’ terhadap baby blues syndrome. Padahal hasil penelitian yang dilakukan di Jakarta oleh dr. Irawati Sp.Kj menunjukkan 25% dari 580 ibu yang menjadi respodennya mengalami sindroma ini.

Hanya 2 minggu
Baby blues syndrom, adalah gangguan emosi ringan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu setelah ibu melahirkan. Ada pula yang menyebutnya dengan istilah lain seperti maternity blues atau post partum blues. Sesuai dengan istilahnya – blues – yang berarti keadaan tertekan, sindroma ini ditandai dengan gejala-gejala gangguan emosi seperti sering menangis atau mudah bersikap berang. Munculnya berbagai gejala ini menurut dr. Irawati Sp.Kj dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah ketidaksiapan ibu menghadapi kelahiran bayinya. Ada ibu yang tidak menyadari kalau kelahiran seorang bayi selalu disertai dengan peningkatan tanggung jawab. “Kesulitan menyusui misalnya, bisa membuat ibu jadi tertekan,” kata dr. Irawati Sp.Kj lagi.
Ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan di bawah normal cenderung 3.64 kali berpeluang lebih besar mengalami baby blues dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan normal.

Faktor pencetus lain yang tidak kalah serius adalah sikap ibu dalam memandang dan menghadapi persalinan. Seringkali seorang ibu berharap bayi yang baru lahir akan tidur nyenyak di malam hari. Siapa sangka sang bayi justru ‘menjadi teroris di tengah malam’ dengan tangisannya yang tak kunjung usai.Baby blues juga sangat mungkin terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma melahirkan atau mengalami kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung. Brooke Shields, misalnya, kehilangan ayahnya saat sedang mengandung. Ibu yang mengalami depresi saat mengandung, atau pernah mengalami depresi sebelumnya lebih harus mendapatkan perhatian khusus karena memiliki peluang besar untuk mengalami baby blues.

Selain dipicu oleh faktor-faktor yang sifatnya kejiwaan, perubahan hormon di turut mempengaruhi kestabilan emosi. Selama hamil hormon (estrogen dan progresteron) akan mengalami peningkatan. Hormon-hormon ini akan menurun tajam dalam tempo 72 jam setelah melahirkan. “Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau kondisi hormon yang sudah stabil selama 9 bulan mendadak berubah drastis,” kata dr. Arju Anita SpOG dari RSIA Hermina. Walau terdengar begitu mencemaskan, para orang tua baru sebenarnya tak perlu cemas dalam mengalami baby blues syndrome. Singkatnya kurun waktu dan sifatnya yang temporer membuat baby blues akan akan ‘sembuh’ dengan sendirinya tanpa perlu ditangani dengan terapi hormonal. Pertolongan yang paling tepat menurut dr. Arju Anita adalah terapi psikologis. Dukungan moral dari lingkungan sekitarnya juga berperan penting di dalam membantu ibu dalam mengatasi sindroma ini.

Depresi pasca persalinan
Kewaspadaan harus lebih ditingkatkan ketika gangguan emosi yang dialami tak kunjung hilang setelah 2 minggu. Kemungkinan terbesar, ibu mengalami depresi pasca persalinan atau post partum depression (PPD). Layaknya depresi-depresi lainnya, depresi paska persalinan harus ditangani secara serius secara psikis oleh psikiater atau psikolog. “Membiarkan ibu terbenam dalam depresi akan mengakibatkan dampak negatif. Tidak hanya untuk si ibu tetapi juga si bayi, karena PPD bisa terus berlanjut selama 2 tahun,” kata dr. Irawati.

Berbeda dengan ketika mengalami baby blues syndrome, para penderita PPD biasanya dilanda rasa putus asa yang sangat berat. Seringkali mereka merasa ingin bunuh diri atau mencelakai bayinya. Satu kejadian paling menghebohkan yang sempat mengguncang masyarakat di Amerika Serikat adalah kasus pembunuhan 2 anak oleh ibu kandungnya, Tonya Vasilev. Tonya membunuh anaknya karena menderita depresi berat. Sebelum kejadian ini ia memang sudah mengalami beberapa kali depresi yang menjadi semakin parah setiap kali habis bersalin.

Dalam kadar yang lebih ‘ringan’ sekalipun PPD akan menimbulkan dampak buruk kepada seluruh anggota keluarga. Bayangkan bagaimana jika istri menarik diri dan menolak berinteraksi dengan suaminya. Depresi bisa membuat ibu menolak menyusui dan mengurus bayinya. Kesehatan fisik dan psikis si bayi pastilah akan terganggu. Walau telah mendapatkan pertolongan yang menyeluruh dari ahli medis, penanganan post partum depression tidak akan sempurna tanpa dukungan dari keluarga. Para suami bisa memulai dari hal-hal yang kecil. Misalnya menanyakan kabar istrinya, atau mencarikan orang yang dapat membantunya mengurus rumah dan bayi. Dukungan sosial yang positif terbukti dapat membantu ibu melepaskan diri dari jerat depresi pasca persalinan. Untuk urusan yang satu ini barangkali kita perlu belajar pada orang Jawa yang mengenal tradisi ‘memanjakan’ ibu yang baru melahirkan selama 40 hari setelah persalinan.

Sumber: id.shvoong.com

Tidak ada komentar: