7 Jan 2009

Sehat dengan Sayur dan Buah Organik?

Jika menelusur cara buah dan sayuran organik dibudidayakan, tidak mustahil Anda akan makin memahami gaya hidup back to nature yang sebenarnya. Organik makanannya, organis perilakunya. Seperti apa? Wortel sekilo harganya hampir sepuluh ribu rupiah! Seorang ibu muda mengamati wortel dalam kemasan plastik bertuliskan “organic” di sebuah supermarket besar di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Perempuan tersebut tidak serta merta memasukkan wortel itu ke dalam kereta belanjanya, melainkan mengamat-amatinya. Mungkin pikirannya sedang berkecamuk, di pasar dia bisa mendapatkan wortel sebanyak itu, hanya dengan harga tak sampai separuhnya. Toh setelah bolak-balik melihat bungkusan wortel non-organik yang dipajang tak jauh dari situ, sang ibu memungut satu bungkus wortel organik dan memasukkannya ke dalam trolinya.

“Penasaran, sih! Pingin coba wortel organik yang diceritakan teman saya. Katanya lebih awet, nggak cepat bonyok,” jawabnya saat ditanya kenapa akhirnya memilih wortel organik itu.

Hanya karena penasaran, demikian salah satu alasan kenapa orang memilih bahan pangan organik. Bisa juga, karena kini produk tersebut relatif mudah didapat di kota-kota besar seperti Jakarta ini. Selain tersedia di beberapa pasar swalayan besar, produk organik juga bisa didapat di toko-toko khusus yang menjual produk organik. Jenisnya pun makin beragam, bukan hanya sayur dan buah, tetapi juga beras, palawija, jamur, telur, pangan olahan (kecap, yogurt, selai, pasta, tahu, tempe), produk perawatan tubuh yang digunakan sehari-hari (sabun, shampoo, pasta gigi), pembersih lantai, obat nyamuk, dan banyak lagi.

Agaknya kini posisi pasar produk organik makin menguat, sehingga dalam tata pergaulan kota metropolitan, mungkin saja yang tak kenal sayur organik dianggap kurang gaul. Seperti alasan yang dikatakan ibu tadi, dia memilih produk organik karena penasaran, bermaksud mencobanya jangan sampai dikatakan kuper jika sedang berkumpul dengan kawan-kawannya. Ini adalah salah satu tipe konsumen organik yang memilih produk hanya berdasar ikut-ikutan saja.

Tetapi model cantik Arzety B. Setyawan (32 tahun) bukan sekadar ikut tren jika ia berniat membesarkan kedua putranya, Bagas Setyawan (2 tahun) dan Dimas Setyawan (1 tahun), dengan bahan pangan organik. Di antara kesibukannya mengelola jasa sekolah modeling dan sebagai event organizer, dua hari sekali Arzety ke supermarket untuk memilih sendiri bahan pangan organik bagi kedua buah hatinya itu berupa sayur dan buah, beras merah, pasta yang menjadi makanan favorit anak-anaknya.

Arzety sekaligus memasaknya sendiri, karena tidak ingin memasukkan garam ke dalam bahan santapan anaknya. Sebagai gantinya Arzety memberinya bumbu organik dari bahan ekstrak jamur. Model ini mengaku sejak mengandung anak pertama ia sudah mulai mengkonsumsi bahan pangan organik.

“Syukur, ternyata hasilnya anak-anak jarang sakit. Jika dikatakan pangan organik itu mahal, saya pikir nggak juga, karena beda harganya tidak seberapa dibanding dengan sayur biasa. Apa artinya membeli makanan murah tetapi di belakang hari menimbulkan penyakit macam-macam? Harapan saya dengan memberikan ‘bekal sehat’ sejak dini, terutama di masa emas pertumbuhan, anak-anak akan sehat secara optimal,” katanya serius.

Uli Dian juga mempunyai alasan kuat menjadi konsumen organik. Yang awalnya memilih bahan pangan organik demi untuk salah satu anaknya yang menyandang autistik, akhirnya seluruh anggota keluarga ikut mengkonsumsi bahan pangan tersebut.

“Tubuh anak saya kurang mampu mendetoks toksin (racun). Jika makanannya tidak cocok, badannya langsung biru-biru. Makanya saya harus memberi makanan yang seminimal mungkin mengandung toksin. Solusinya jelas, bahan pangan organik. Itu yang terbaik untuk anak,” kata Uli yang mulai menjadi pelanggan bahan pangan organik sejak tahun 2002. Mengingat efek makanan yang sangat mempengaruhi kesehatan anaknya, maka Uli tidak bisa sembarangan mencomot produk organik.

“Mau ganti produk lain masih was-was, karena belum yakin keasliannya. Saya mesti hati-hati, karena taruhannya langsung kesehatan anak saya,” tutur ibu yang sejak awal memilih produk organik palawija dari Konphalindo (Konsorsium Pelestari Hutan & Alam Indonesia) dan sayur mayur dari perkebunan organik Bina Sarana Bhakti di Cisarua yang dikelola oleh Pastor Agatho.

Rendahnya kualitas bahan pangan, lebih-lebih di kota-kota besar dengan polusi yang makin tidak terkendali, menjadi alasan dr. Trisna Nilamaya menjadi konsumen organik. “Pengawasan pangan di negeri ini sangat longgar, sehingga tambahan zat kimia sintetik pada makanan sangat berlebihan,” ujar dokter ahli akupunktur yang sudah 2 tahun menjadi pelanggan pangan organik ini.

Seminggu sekali dari tempat tinggalnya di kawasan Cakung, Maya mesti menjemput hasil panen pangan organik dari Entik Umar, seorang petani organik di kaki Gunung Pangrango, Mega Mendung, Puncak. Selain sayur, palawija, serta umbi-umbian, Maya membeli daging ayam, telur, tahu, tempe, dan kecap organik.

“Jika mengamati cara bertani dan beternak zaman sekarang, petani dengan enteng menyemprot tanaman dengan obat-obatan dan menyuntik ternak dengan hormon kesuburan. Waduh! Membiarkan anak-anak mengkonsumsi sayur atau daging ternak seperti itu, sama saja dengan meracuni mereka pelan-pelan. Tindakan preventif menjaga kesehatan keluarga yang bisa saya lakukan sekarang ini, ya dengan memanfaatkan bahan pangan organik. Apalagi untuk anak-anak, saya berusaha sedini mungkin. Kebetulan ada seorang kerabat yang menderita kanker, sekalian saya belanjakan bahan pangan ini,” begitu alasan ibu dari Abhimata (13 tahun) dan Bening (7 tahun) ini.

Benarkah produk pangan organik menyehatkan?

Walau telah meminimalkan penggunaan bahan kimia (pestisida dan pupuk), belum ada jaminan produk pangan organik yang dihasilkan terbebas dari bakteri beracun. Penelitian mikrobiologis keamanan pangan organik yang dilakukan di IPB dengan meneliti 3 contoh sayuran yang diperoleh dari perkebunan yang berbeda, menunjukkan jika pengomposan pupuk organik kurang sempurna bisa berakibat hasil panennya berpeluang mengandung bakteri patogen seperti Salmonella dan Escherichia coli. Karena itu pencucian yang seksama (menggunakan air matang) penting untuk menjamin keamanan sayuran organik.

Anjuran para ahli gizi untuk mengkonsumsi buah dan sayur segar 5-7 porsi sehari bisa dipenuhi dengan memilih bahan pangan organik yang bersertifikat. Dengan demikian perkembangan penyakit degeneratif seperti kardiovaskuler, jantung koroner, diabetes, hipertensi, katarak, bisa dicegah dengan terpenuhinya zat gizi dari bahan pangan tersebut. Demikian disampaikan oleh dosen ilmu gizi masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Ahmad Sulaeman, PhD.

Hasil penelitian The British for Allergy, Environmental and Nutritional Medicine yang dicantumkan dalam buku Gerakan Menuju Dunia Berkelanjutan yang diterbitkan oleh Konphalindo, meyakini bahwa penyebab mendasar defisiensi unsur nutrisi mikro yang banyak diidap pasien-pasien di sana sekarang ini, disebabkan oleh penipisan mineral tanah. Hal ini terjadi karena terkurasnya mineral tanah oleh praktik pertanian intensif. Lembaga ini juga menduga meningkatnya paparan pestisida memberi kontribusi meningkatnya alergi dan penyakit lain yang menghawatirkan.

Lembaga tersebut juga menyatakan bahwa hasil kajian yang mengindikasikan paparan pestisida berkemampuan menurunkan fungsi reproduksi pria (melemahkan kemampuan sperma). Sedangkan asosiasi petani organik Denmark menuliskan laporan penelitian terhadap sekelompok laki-laki yang mengkonsumsi susu organik (dengan jumlah separuh dari asupan susu setiap hari) ternyata kepadatan spermanya lebih tinggi.

Kualitas pangan anak-anak pra sekolah di Seattle, Amerika Serikat, juga diteliti para ilmuwan. Kandungan hasil metabolisme dimetil (yaitu zat yang berpotensi karsinogen) dalam darah, ternyata enam kali lebih tinggi pada kelompok anak yang mengkonsumsi pangan non-organik.

Pengalaman pribadi dokter ahli naturopati, Gloria Gilbere, ND, DAHom, PhD yang dituliskannya dalam buku / was Poisoned by my Body secara gamblang menjelaskan betapa dokter yang mendalami ilmu homeopati, psikologi lingkungan, ilmu gizi, herba, serta TCM tersebut sangat tergantung pada produk pangan organik.

Menurutnya, pola makan organik yang tersusun dari bahan-bahan bebas kimia sintetis, secara perlahan sanggup menata kembali metabolisme tubuhnya yang sudah dikacaukan oleh penyakit hronic fatigue, fibromyalgia, leaky gut (kebocoran usus ), dan multiple chemical sensitivity syndrome (alergi yang parah). Pola makan organik Gloria merupakan cara pengobatan yang tepat untuk meraih kesehatan secara alami.

Rini Damayanti, dokter umum lulusan Universitas Pajajaran yang mendalami bidang nutrisi di SEAMEO Universitas Indonesia dan melanjutkan studi Natural Healing di Westbrook University, New Mexico, Amerika Serikat, menyebutkan dampak negatif pestisida langsung berpengaruh pada sistem neurotransmitter, sistem endokrin/hormonal, meningkatnya zat karsinogen (pencetus kanker), dan tertekannya sistem imunitas atau kekebalan tubuh.

Menurut Rini yang pernah mengelola 3 hektar perkebunan organik di kawasan Ciwidey, Bandung Selatan, tubuh manusia pada dasarnya tersusun dari ikatan garam organik. Bahan kimia sintetis atau anorganik (yang berupa logam berat dari polusi, makanan, rokok, pestisida, dan pupuk dengan kandungan unsur nitrogen, kalium dan fosfor berlebihan) yang masuk tubuh akan sulit dicerna dan diserap sistern metabolisme tubuh.

Dalam kondisi ini sistem imun tubuh akan bekerja keras dengan mendetoksnya. Kemampuan detoks setiap individu berbeda-beda, terutama pada anak-anak dengan gangguan konsentrasi seperti autistik, sangat rendah. Akibatnya, zat-zat kimia anorganik terakumulasi, yang akhirnya melemahkan fungsi organ tubuh.

“Dengan demikian tubuh menjadi tidak peka, sistem alami tubuh yang mestinya memberi sinyal saat tubuh terganggu, menjadi tumpul. Akibatnya, tiba-tiba tubuh ambruk dengan kondisi yang parah,” lanjut Rini.

Menyebarkan gaya hidup sehat

Adalah menarik jika diamati bahwa ternyata tren makan sayur organik telah menuntun para konsumen peduli/fanatik untuk menelusur lebih jauh gara hidup alami. Bukan hanya sebatas sharing info alamat, tetapi juga membuka forum komunikasi lebih luas untuk saling memberi wawasan baru perihal gaya hidup back to nature.

Contohnya Ani Bagwanto, ibu tiga anak yang salah satunya menyandang ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Pada awalnya, Ani hanya memburu produk organik untuk keperluan anaknya. Namun karena kepeduliannya pada kesehatan anak-anak lain dengan kebutuhan khusus, Ani menjadi tempat bertanya para orangtua yang mempunyai problem serupa. Selain menyediakan pangan olahan organik dan suplemen khusus, Ani juga menggelar ajang diskusi, pelatihan praktis, bahkan menerbitkan buletin khusus yang menjadi ajang komunikasi dan sharing pengalaman.

Bibong Widyarti yang sudah lebih dari 5 tahun menjadi konsumen organik, mengatakan bahwa pangan organik membawanya semakin mantap menerapkan cara hidup back to nature. Untuk mengenal lebih jauh sayur organik, ibu dua orang anak ini langsung meninjau dan belajar cara bertani organik ke kebun Pastor Agatho.

Bibong pun kemudian mempraktikkan bercocok tanam sayur, bumbu dapur, dan tanaman obat di halaman rumahnya. Ibu rumah tangga lulusan IPB ini terus mencari info seputar bahan pangan organik yang kemudian menuntunnya untuk belajar tentang memasak makanan sehat, dasar ilmu nutrisi, bubidaya sampah, produk daur ulang, aktivitas pelestarian alam, dan kini Bibong mulai menyoroti khusus masalah pemanasan bumi.

Belakangan ia mengajar cara hidup sehat pada anak-anak dengan berkunjung ke sekolah-sekolah dan kelompok ibu-ibu rumahtangga. Ia juga aktif dalam seminar-seminar, bahkan hadir di arena pameran produk organik negara Asia di Singapura tahun lalu. Cita-citanya menggalang wadah antar sesama konsumen organik dengan merinos website ‘rumah organik’.

Mustahil menjadi organik sendirian

“Organik ternyata menyadarkan kita bahwa kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari organisme dunia. Jadi setelah meyehatkan diri, kita mestinya juga bisa menyehatkan teman dan lingkungan,” katanya.

Bagi petani dan pengusaha perkebunan organik seperti Agus Margono, pengalaman mengelola kebun organik sejak tahun 1998 telah mengasah cara berpikirnya menjadi terbuka. “Kalau tidak terbuka maka tidak bisa maju, karena dalam bertani organik, semua aktivitas di lapangan bersifat coba-coba. Ini yang mendorong kita untuk terus belajar. Selain itu cara pertanian ini telah mengajar kita untuk bersikap mandiri dan mengoptimalkan yang ada,” kata Agus Margono.

Kata sifat organis sama dengan organik (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia) menjelaskan ciri khas organ atau bagian terhadap organismenya atau kelompok yang lebih besar. Maksud dan sebab keberadaan setiap organ adalah melengkapi dan melayani seluruh organisme. Andai satu organ berjalan mencari kepentingannya sendiri, pasti organ lain dirugikan dan dilemahkan. Keberhasilan suatu organisme tergantung pada pelayanan dan perhatian di dalam organisme itu. Demikian dijelaskan oleh Pastor Agatho, salah satu pelopor pertanian organik di sini, dalam perjumpaan dengan Nirmala beberapa waktu yang lalu.

Biotop (sekelompok kecil mahluk hidup) yang paling khas sampai ekosistem yang paling luas di alam, bahkan setiap organisasi manusia pun, berfungsi dan berkembang dengan syarat yang sama. Setiap anggota mendukung sistem keseluruhan, dan keseluruhan memperhatikan, menumbuhkan bagian-bagiannya. Jadi tidak mungkin sendirian menjadi organik. Pribadi yang labil dan oportunis tidak mungkin menjadi organik.

Bagaimana mungkin seorang petani sendiri berproduksi organik jika lahan sekelilingnya disemprot dan digelontor dengan pupuk kimia sehingga udara dan air tanah tercemar? Kita ambil contoh tubuh kita yang merupakan satu contoh organisme; jika salah satu organ terganggu misalnya sakit gigi, maka keseluruhan tubuh juga akan terganggu. Oleh karena itu, mereka yang berniat menyebarkan gaya hidup organik mutlak harus bekerjasama agar bisa berhasil.

Sikap hidup organik tidak mengenal saingan atau musuh, semua harus bekerja sama dan saling membantu agar bisa kuat. Meskipun begitu tetap ada syaratnya, Pertama mempunyai cita-cita dan keyakinan yang sama; kedua, usaha bersama ini menggunakan cara kerja yang sama, mungkin perlu merek yang sama pula; dan ketiga, tanggung-jawab dan kejujuran setiap anggota menjadi kunci utama.

Pimpinan bukan hanya mengontrol tetapi harus selalu membantu langsung dalam pelaksanaan kerja. Dengan demikian, kesehatan tubuh sangat tergantung pada kesehatan masing-masing organnya. Menyehatkan bumi, semestinya harus menyehatkan diri kita masing-masing.

Bagaimana memilih produk organik

Mencirikan produk sayur organik bukan sekadar memilih yang bolong pertanda bekas dimakan ulat. Apa ciri produk pangan organik? Bagaimana konsumen bisa mengenalinya? Masalah keaslian produk, memang masih menjadi pertanyaan besar di antara konsumen. Dulu, banyak orang berpedoman pada bentuk fisik yang jelek tidak mulus misalnya daun selada yang berlubang, wortel yang bengkok dan semacamnya, bisa dianggap sebagai sayur organik yang asli. Tapi cara ini banyak disanggah oleh para petani organik. Menurut mereka, cara bertani dengan pengawasan yang baik, tidak mustahil bisa dihasilkan sayur yang mulus dan bersih.

Untuk dinyatakan sebagai pangan organik, cara bertaninya harus memenuhi persyaratan sistem pertanian organik. Bukan semata-mata tidak menggunakan pestisida, tetapi secara keseluruhan sistem pertaniannya menerapkan prinsip organik. Ada 17 prinsip, antara lain memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitasyang berkelanjutan, mengendalikan tanaman pengganggu/gulma, hama, dan penyakit dengan cara-cara alami (misalnya daur ulang residu tanaman dan ternak, menggilir dan menyeleksi tanaman, pengadaan pengairan, penggunaan bahan hayati dan lain-lain), sehingga mampu mempertahankan keseimbangan dan keselarasan alam, demikian penjelasan Ahmad Sulaeman Ph D, Direktur Indonesian Sustainable Agricultural Initiatives (ISAI).

Ahmad Sulaeman yang juga Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Masyarakat Pertanian Organik (Maporina) berpesan kepada konsumen, bahwa satu-satunya cara yang paling sah sebagai tanda pengenal organik adalah sertifikat organik pada label kemasan yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi serta diakui pemerintah. Jangan begitu saja percaya pada tulisan “organik” jika tidak ada sertitifikasi, mengingat tulisan organik bisa saja asal tempel. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada pengusaha pertanian organik yang sudah diakreditasi sesuai standar nasional sistem organik yaitu, SNI no 01-67292002.

Ir Syukur Iwantoro, MSc, MBA yang menjabat sebagai Kepala Pusat Standardisasi dan Akreditasi (PSA) pangan organik (20012004) menyatakan sudah merintis proses sertifikasi pangan organik, antara lain dengan dicapainya kesepakatan yang dituangkan dalam Standar Nasional Indonesia tersebut. Selain melakukan pembinaan pada petani, merangsang pertumbuhan lembaga-lembaga sertifikasi lokal, PSA juga melakukan usaha pembuatan label organik (warna hijau untuk organik murni, dan kuning untuk transisi organik). Namun upaya ini kini tersendat, karena sejak 2 tahun lalu PSA dilebur ke dalam Direktorat Jendral Pengolahan & Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.

“Sekarang ini masyarakat organik kita sudah menunggu, moga-moga pemegang otoritas pangan organik yang baru ini bisa berakselerasi, mempercepat langkahnya, mengatur sertifikasi. Kalau tidak, kemungkinan besar konsumen akan membeli bahan organik dari luar,” ujar Syukur. Tentu saja upaya mendapatkan sertifikasi ini juga menuntut biaya yang tidak sedikit, yang sebagian dibebankan kepada konsumen. Inilah yang ikut melambungkan harga produk pangan organik.

“Padahal jika berdasar perhitungan cara bertani organik, biaya produksi justru rendah karena minim pemakaian pupuk dan obat-obatan. Pada tahun-tahun awal memang terjadi shock produksi, karena pemakaian pupuk dan obat-obatan dihentikan. Pengolahan tanah diubah. Namun berdasar kajian kami, setelah lewat 3 tahun hasil pertanian organik meningkat dan setelah melewati tahun ketujuh, produktivitasnya justru melebihi cara pertanian konvensional.”

Penyebab harga yang relatif mahal justru disebabkan faktor propaganda atau promosi. Dalam masyarakat kita saat ini sudah tumbuh kesadaran bahwa mengkonsumsi produk organik yang dianggap minim tingkat residu zat kimia sintetis ini mampu menyehatkan. Sebagai konsekuensinya, logis saja jika membeli produk bernilai tambah membutuhkan additional cost alias lebih mahal,” lanjut Syukur yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian.

Dugaan ini dibenarkan oleh pengusaha kebun organik Agus Margono. Faktor label atau sertifikat yang menjadi jaminan agar dipercaya konsumen, membutuhkan biaya yang cukup besar. Selain itu upaya kehati-hatian para petani untuk menjaga mutu produk organiknya juga memerlukan tambahan usaha dan biaya. Cukup fair kan!

Tip konsumen

* Waspada pada label organik. Bisa saja ini hanya menjadi jargon untuk menjual, demikian wanti-wanti Dr Tan Shot Yen, dokter yang mensyaratkan pola makan dominan makanan segar dalam terapinya. Yang organik itu selalu bermanfaat buat tubuh manusia, karena sesuai kodratnya. Organik mestinya base on living things atau mentah.
* Produk pangan organik tidak mungkin dijual di sembarang tempat. Tidak ada sayur organik dijual di pasar induk. Jadi pastikan Anda mendatangi tempat yang benar untuk mendapatkan produk organik yang asli.
* Organik tidak harus selalu jelek penampilannya, misalnya berlubang. Dengan pengawasan pengelolaan yang intensif, bisa saja dihasilkan sayur-buah organik yang mulus.
* Walau cara penanaman tanpa bahan kimia, tapi produk organik tidak terjamin bebas bakteri beracun, Jadi sebelum dimakan, sayur organik (misalnya selada, tomat dan wortel) tetap harus dicuci dengan baik, yaitu dengan air kran lalu dibilas dengan air matang.
* Jangan terjebak oleh label “organik” yang dipasang produsen untuk menjual produk olahan yang memang kurang nilai gizinya, misalnya produk olahan jenis cookies dengan kandungan gula, lemak traps, aroma sintetis dan sebagainya. “Meski ditambah label organik, junkfood ya tetap junkfood,” demikian penjelasan Marion Nestle, PhD, MPH, guru besar ilmu nutrisi di New York University. Jadi yang penting saat berbelanja, pertama-tama baca label lalu berpikirlah logis. Tanyakan pada diri sendiri sebelum makan sesuatu, apa manfaatnya bagi tubuh kita. Kalau memang tidak akan mendapatkan apa-apa, lupakan saja.


Sumber: Majalah Nirmala

Tidak ada komentar: