20 Jan 2010

Ancaman di Balik Obesitas

Di keluarga Indonesia masih banyak yang beranggapan anak bertubuh gemuk itu lucu. Padahal, di balik badannya yang besar itu menyimpan potensi penyakit-penyakit yang berbahaya.

Berkaca dari barat, riset terbaru yang digarap Universitas Essex, Inggris mendapati fakta; dalam satu dekade terakhir, anak-anak di kawasan Essex mengalami peningkatan berat badan secara signifikan sebesar 95 persen. Peneliti dari universitas tersebut menyimpulkan faktor aktivitas fisik yang rendah menjadi masalahnya.

Gaya hidup dan aktivitas fisik yang minim di zaman modern saat ini semakin banyak dituding sebagai penyebab semakin banyak anak di dunia Barat, mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Beberapa riset yang pernah dilakukan menyimpulkan hal tersebut.

Pada 1998 lalu, peneliti melakukan tes pada 303 anak dari enam sekolah berbeda untuk melakukan lari cepat sejauh 20 meter. Penelitian itu diulang kembali pada 2008, yang diikuti sejumlah anak berusia 10 tahun. Hasilnya, peneliti mendapati kesimpulan mengejutkan.

Peneliti mendapati perbedaan cukup besar dan mengkhawatirkan. Ketua Tim Riset Gavin Sandercock mengatakan, ukuran dari obesitas sendiri tidak cukup dengan melihat kesehatan anak di masa depan. Pihaknya membutuhkan sebuah program pengawasan aktivitas fisik anak-anak.

”Kita melihat generasi sekarang merupakan generasi yang menghabiskan waktu di depan televisi, entah itu komputer atau TV. Sekolah harusnya berusaha lebih keras, tapi kurangnya aktivitas yang terstruktur menjadi masalah,” ungkapnya seperti dilansir Telegraph.

Sementara itu, Presiden Fakultas Kesehatan Universitas Essex, Prof Alan Maryon Davis, mengatakan bahwa pihaknya harus memperhatikan aktivitas fisik anak-anak, mengingat fokus penanganan obesitas lebih terhubung pada kondisi kronis, seperti penyakit diabetes dan jantung.

Pemerintah Inggris sendiri telah melakukan berbagai upaya menangani masalah obesitas pada anak-anak, termasuk di dalamnya kampanye ”Kick-Started a Lifestyle” yang begitu digiatkan semenjak awal tahun ini. Sayangnya, kampanye itu belum jua mendapati hasil positif.

Diketahui, lebih dari sembilan juta anak di dunia berusia enam tahun ke atas mengalami obesitas. Itu menurut laporan Dennis Bier dari Pediatric Academic Society (PAS). Sejak 1970, obesitas kerap meningkat di kalangan anak, hingga kini angkanya terus melonjak dua kali lipat pada anak usia 2–5 tahun dan usia 12–19 tahun, bahkan meningkat tiga kali lipat pada anak usia 6–11 tahun.

Sementara itu, obesitas pada anak telah menjadi masalah yang serius di Indonesia. Dari penelitian yang dilakukan di empat belas kota besar di Indonesia, angka kejadian obesitas pada anak tergolong relatif tinggi, antara 10–20 persen dengan nilai yang terus meningkat hingga kini.

Definisi obesitas, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), merupakan keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak yang berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh-kembang anak sesuai jenis kelaminnya.

Sampai saat ini, penyebab tingginya angka obesitas pada anak-anak, terutama di Indonesia, masih simpang siur. Banyak kalangan yang menduga kuat akibat pengaruh jajanan yang kurang sehat dengan kandungan kalori tinggi, sehingga anak-anak cenderung lebih senang jajan daripada makan di rumah.

Penelitian dokter anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN Cipto Mangunkusumo Dr Damayanti R Syarif SpA(K) menunjukkan bahwa obesitas kerap terjadi pada golongan anak yang lebih senang jajan. Sayangnya, penjelasan ilmiah mengenai hal ini masih simpang siur.

Sampai saat ini para dokter harus puas dengan predikat ”multikausal” sebagai penyebab obesitas, keadaannya sangat multidimensional. Tidak hanya terjadi pada golongan sosio-ekonomi tinggi, sering pula pada sosio-ekonomi menengah hingga menengah ke bawah.

Selain itu, para ilmuwan juga sepakat bahwa obesitas pada anak cenderung terjadi akibat faktor lingkungan daripada faktor genetik. Alasan epidemisnya ialah sejak 1970-an hingga 2000-an merupakan waktu yang terlalu singkat untuk mengubah struktur genetik untuk menyebabkan perubahan pola prevalensi obesitas terkini. Obesitas akibat hiperlipidemia familial juga tidak menyebabkan angka yang sangat tinggi seperti saat ini.

Bagaimana dengan faktor sosial? Mafhum bagi kalangan medis bahwa obesitas pada anak telah menjadi masalah yang serius di Indonesia dan di dunia. Karena obesitas terjadi karena imbalans energi, pendekatan yang dilakukan ialah dengan menyeimbangkan pola makan dengan kebiasaan bermain atau berolahraga.

Demikian kompleksnya tujuan ini untuk dicapai, perubahan yang dilakukan harus secara sosial dan besar-besaran. Literatur kedokteran yang ada pun tidak ada yang dengan tepat mencantumkan bagaimana cara terbaik untuk melakukan perubahan di bidang ini. Dengan kata lain, masih dibutuhkan studi lebih lanjut di Indonesia tentang bagaimana mencegah obesitas sejak dini.

Menutup restoran cepat saji atau menertibkan tukang jajan di sekolah dasar tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kebiasaan-kebiasaan yang baik harus ditanamkan pada anak sejak dini. Para orangtua harus disiplin dan ”tega” mendidik anak untuk ke sekolah jalan kaki atau naik sepeda, daripada harus diantar-jemput.

Tidak baik untuk menuruti anak untuk sering makan di restoran cepat saji, budaya makan buah dan sayur harus sejak dini dibiasakan, dongeng-dongeng sebelum tidur ada baiknya kembali dibudayakan dengan cerita Popeye dan bayam, atau cerita bagaimana proses sebuah telur bisa menjadi ayam goreng superbesar dengan lemak tebal dan kulit renyah khas restoran cepat saji.

Tak kalah pentingnya ialah peran sekolah untuk menambah jadwal olahraga dan menyediakan media yang lebih baik bagi anak-anak untuk ”bermain” dan berolahraga. Sekolah juga sebenarnya menjadi kunci untuk menertibkan puluhan pedagang yang menyuguhkan makanan-makanan sangat tidak sehat.

Memang benar bahwa ”jajan” lebih tepat digolongkan sebagai kebiasaan, meski sudah dihalang-halangi bagaimanapun, anak-anak akan tetap mencari tukang jajan di mana-mana. Dengan demikian, kampanye menghindari jajan harus sangat rutin digembar-gemborkan. Para ilmuwan sebenarnya juga menyarankan pada pihak sekolah untuk memberi waktu luang 30 menit per hari untuk melakukan aktivitas kardiovaskular.

Sumber: okezone.com

Cegah Obesitas dengan Psikoterapi

Sebuah studi yang dipublikasikan di International Journal of Eating Disorders menyatakan bahwa program psikoterapi lebih efektif dibandingkan kelas kesehatan tradisional dalam mencegah obesitas pada remaja putri yang berisiko gemuk. Program psikoterapi ini merupalan rangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang.

"Program ini fokus pada pemecahan gangguan sosial dan kesulitan hubungan perorangan. Kedua masalah ini membuat anak kesulitan beradaptasi," tutur peneliti Marian Tanofsky-Kraff dari Uniformed Services University's Department of Medical and Clinical Psychology, seperti dikutip situs healthday.

Dalam studi ini, para peneliti menggunakan program psikoterapi untuk membantu remaja mengontrol kelainan makanan. Cara ini, terang Tanofsky-Kraff, didasarkan pada keyakinan bahwa kelebihan makan muncul sebagai respon terhadap buruknya fungsi sosial dan sebagai akibat dari mood negatif.

Peneliti secara acak meminta 38 remaja putri untuk menghadiri sesi psikoterapi atau kelas pendidikan kesehatan standar. Setelah 12 bulan, mereka yang ambil bagian dalam sesi psikoterapi lebih bisa menyeimbangkan atau mengurangi indeks massa tubuh (sebagai tolak ukur obesitas) mereka.

"Jika program ini terbukti efektif, kita bisa mencegah penambahan berat badan sekaligus gangguan kesehatan yang terkait obesitas," terang Tanofsky-Kraff.

Sumber: mediaindonesia.com

Obesitas Picu Terjadinya Kanker

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan 30% kasus penyakit kanker berhubungan dengan berat badan berlebih, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik.

"Faktor obesitas dan kekurangan aktivitas fisik menyumbang 30% risiko terjadinya kanker," kata Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan Yusharmen di Jakarta.

Kanker, yang ditandai dengan pertumbuhan sel secara tidak terkendali, merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan menurut data WHO sebanyak 10 juta kasus kanker baru muncul setiap tahun.

Penyebab penyakit tersebut hingga kini belum diketahui secara pasti namun kejadiannya dipengaruhi sejumlah faktor risiko termasuk kebiasaan merokok, diet yang tidak sehat, dan obesitas.

Di Indonesia, obesitas sudah mulai menjadi ancaman kesehatan. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, prevalensi obesitas dan berat badan lebih pada anak usia di atas 15 tahun sebesar 18,4%.

Sementara prevalensi tumor dalam masyarakat, menurut hasil riset yang sama, sebesar 4,3 per 1.000 penduduk.

Lebih lanjut Yusharmen menjelaskan, karena kanker merupakan penyakit yang dipicu oleh perilaku dan gaya hidup yang tidak sehat maka upaya pemerintah untuk mengendalikan penyakit tersebut juga lebih ditujukan pada upaya pembudayaan perilaku hidup sehat.

Departemen Kesehatan, lanjut dia, melakukan upaya itu melalui kampanye peningkatan aktivitas fisik dan diet seimbang yang sehat kepada masyarakat.

"Saat ini kami sedang fokus kampanye ke anak-anak sekolah melalui Unit Kesehatan Sekolah dan `dokter kecil`. Tapi ini baru dilakukan di perkotaan yang kasusnya sudah banyak. Selanjutnya ini akan direplikasi ke tempat lain," demikian Yusharmen.

Sumber:kapanlagi.com

12 Jan 2010

11 Sayuran Pembunuh Kanker

Ketua Cancer Information and Support Center (CISC) Semarang Cahyaning Puji Astuti mengatakan, setidaknya ada sekitar 11 jenis sayuran yang terbukti ampuh untuk mencegah munculnya penyakit kanker.

"Buah-buahan dan sayuran sebenarnya jauh lebih hebat dibandingkan vitamin, namun tidak semua sayur dan buah merupakan antikanker," katanya seusai seminar "Menyiapkan Makanan Sehat Pencegah Kanker" di RS Telogorejo, Semarang, Kamis (10/12/2009).

Naning menyebutkan, 11 sayuran pencegah kanker tersebut, di antaranya kubis, bawang putih, bawang bombai, kedelai, kunyit, teh hijau, tomat, jeruk, cokelat, dan buah-buahan beri, seperti bluberi dan stroberi.

Namun, meskipun beberapa sayuran dan buah-buahan itu berkhasiat sebagai antikanker, diperlukan kewaspadaan dan pemahaman zat-zat yang terkandung dalam sayuran itu, termasuk memerhatikan proses pengolahannya.

Menurut dia, kubis merupakan musuh utama kanker, baik kubis hijau, kubis putih, brokoli, bunga kol, selada air, maupun kol ungu. Bahkan, khasiat kubis sudah dikenal sejak zaman Hipokrates sekitar 460-377 SM.

"Hipokrates mengatakan, kubis merupakan sayuran dengan beribu-ribu khasiat, dan mengonsumsi kubis minimal lima porsi setiap minggu terbukti dapat memperkecil risiko terserang kanker dan memperlambat perkembangan kanker," katanya.

Akan tetapi, proses pengolahan kubis tetap harus diperhatikan agar tidak menghilangkan khasiatnya, di antaranya tidak memasaknya terlalu lama, tetapi tetap harus bersih, dan mengunyahnya secara cermat.

Bawang putih dan bawang bombai juga sangat efektif untuk mencegah kanker, terutama kanker saluran pencernaan, kerongkongan, lambung, usus besar, prostat, paru-paru, dan kanker payudara.

"Makanan pencegah kanker ditemui pula dalam kedelai, yang banyak diolah menjadi tahu, tempe, dan susu. Sebab, kedelai mengandung isoflavon yang merupakan senyawa antikanker yang memiliki struktur kimia mirip dengan hormon seks," katanya.

Berkaitan dengan kemiripan struktur kimia isoflavon dengan hormon seks itu, ia mengingatkan, konsumsi kedelai secara berlebihan tidak dianjurkan untuk penderita kanker payudara dan kanker prostat.

"Kedua kanker itu merupakan jenis kanker yang sangat bergantung pada hormon, yakni hormon estrogen untuk kanker payudara dan hormon androgen untuk kanker prostat," kata Naning yang juga menderita kanker.

Selain itu, kata dia, resep menghindari risiko terkena kanker dapat dilakukan dengan menghindari makanan-makanan tertentu, misalnya, makanan yang diasinkan, makanan yang diasap, dan makanan yang digoreng.

"Olahraga secara teratur, berhenti merokok, dan menghindari konsumsi daging merah juga merupakan penerapan pola hidup sehat yang perlu diterapkan untuk mencegah kanker," kata Naning.

Sumber: kompas.com

Awas Terobsesi Tubuh Berotot!

"Saya seorang bodybuilder dan setiap hari berlatih di gym selama tiga jam. Selama lima tahun terakhir saya mengikuti diet tinggi protein dan makan sedikitnya 10 butir telur setiap hari. Saya juga mengonsumsi suplemen khusus untuk membentuk otot. Adakah saran lain untuk meningkatkan performa otot saya?"

Pertanyaan tersebut dikirimkan seorang pria dalam rubrik konsultasi di majalah kebugaran. Meski tubuhnya sudah berotot, pria tersebut masih merasa ada yang kurang dari penampilannya.

Para binaragawan (body builder) biasanya begitu peduli pada bentuk tubuh dan otot mereka. Tak jarang mereka jadi terobsesi dan terus menerus memikirkan kekurangan fisik minor.

Orang yang terus menerus memikirkan bentuk otot-otot tubuhnya diistilahkan dengan muscle dysmorphia, kebalikan dari anorexia nervosa. Seperti orang yang anorexia yang menganggap badan yang kurus sebagai cantik, pengidap muscle dysmorphia menilai perut berbaku enam dan tubuh indah berotot adalah sebuah keindahan.

Muscle dysmorphobia pada umumnya diderita oleh laki-laki. Sebagian besar penderita muscle dysmorphobia termasuk ke dalam kelompok body dysmorphic disorder (ketidakpuasan yang ekstrem terhadap penampilan).

Tidak semua orang yang terobsesi dengan bentuk tubuh berotot dapat langsung dikategorikan sebagai muscle dysmophobia. Ada beberapa karateristik dari penderita kelainan ini, seperti:

- Selalu merasa otot dan bentuk tubuhnya kurang sempurna.

- Memiliki self esteem yang rendah dan konsep diri negatif. Akibatnya ia selalu memfokuskan diri pada kekurangan diri untuk dibandingkan dengan orang lain.

- Berlatih amat keras atau diet super ketat untuk membentuk tubuh demi mencapai bentuk yang ideal.

- Sering berkonsultasi pada instruktur kebugaran atau dokter untuk mendapatkan bentuk tubuh yang diimpikannya.

- Sulit memfokuskan perhatian dan berkonsentrasi pada bidang kehidupan lainnya.

Sumber: kompas.com

7 Jan 2010

Pengharum Ruangan Sebabkan Gangguan Paru-paru

Dalam beberapa tahun terakhir kandungan kimia dalam penyegar dan pengharum ruangan dicurigai menjadi penyebab sesak nafas dan masalah paru-paru lainnya.

Penelitian yang dilakukan National Institutes of Health, Amerika Serikat menemukan bahwa pada orang-orang yang berada pada ruangan berpengharum, dalam darahnya terkandung 1,4-dichlorobenzene, kimia organik yang menurunkan fungsi paru-paru.

Substansi kimia ini amat umum dijumpai dalam kapur barus, asap rokok, dan pengharum kamar mandi.

Sementara itu penelitian lain yang dipublikasikan Environmental Health Perspectives menelaah kesehatan 953 orang berusia rata-rata 37 tahun selama enam tahun berturut-turut.

Setelah mengeliminasi faktor lain seperti asap rokok, penelitian itu menemukan 10% dari responden mempunyai kadar 1,4 DCB dalam darahnya, semakin parah setelah berada di ruangan berpengharum udara. Fungsi paru-parunya turun empat 4%.

Angka empat persen tidak cukup kuat untuk mengenyahkan pengharum ruangan dengan segera. Namun seperti disampaikan periset, apabila fungsi pernafasan menurun adalah indikasi dari kerusakan paru-paru. Solusinya, kurangi penggunaan produk sejenis dan lebih banyak membersihkan ruangan serta dialiri udara segar.

Sumer: inilah.com

Apa Itu Placebo?

Studi mengenai efek placebo yang tak terhitung jumlahnya telah menunjukkan bila pikiran mungkin faktor terpenting dalam fungsi tubuh manusia. Dengan kemampuan untuk menciptakan atau menghapuskan gejala dengan seketika, koneksi menuju ‘kekuatan penyembuhan’ hanya memerlukan suatu keyakinan.

Banyak sekali contoh yang ditemukan di sepanjang sejarah hingga saat ini yang mendokumentasikan kekuatan pikiran untuk penyembuhan. Percobaan placebo kali pertama dilakukan pada 1801, menurut Placebo dan Efek Placebo dalam Pengobatan: Ikhtisar Historis, oleh Journal of the Royal Society of Medicine (JRSM). John Haygarth, seorang dokter abad ke-18 asal Inggris, menyatakan bahwa eksperimen tersebut “dengan jelas membuktikan efek yang amat luar biasa dari suatu harapan dan keyakinan, antusiasme hanya berdasarkan imajinasi, dapat dilakukan pada suatu penyakit.”

Di penghujung 1950-an, saat itu ada keyakinan bila pembedahan untuk mengikat arteri kelenjar susu dapat meredakan penyakit jantung. Untuk menguji Placebo, beberapa pasien mengalami pembedahan lengkap sedang lainnya hanya menerima irisan di kulit, namun tidak ada pembedahan lebih lanjut. Menurut JRSM, “Di kedua percobaan, tingkat penyembuhannya sama.” Perawatan lantas ditinggalkan.

Studi pada 1968 di Pengobatan Psikosomatik menguraikan bagaimana suatu kesan dapat mempengaruhi serangan asma. Peneliti meminta pasien untuk menghisap substansi tanpa label yang diberitahukan pada mereka jika substansi tersebut akan mengganggu asma mereka untuk sementara.

Ketika pasien menghisapnya, “Banyak yang mengalami serangan asma,” jelas Dr. Herbert Benson di Beyond the Relaxation Response. “Mereka mulai mendesah, kesulitan bernafas, dan terengah-engah” meskipun substansi yang mereka hisap adalah larutan garam yang tidak berbahaya. Kemudian, peneliti memberi pasien “penawar racun’ yang dibuat dari larutan garam yang sama persis, dan menyaksikan bila nafas yang mendesah dan berat telah berhenti.

Di 1983 wawancara dengan KCRW-FM, Bapak Terapi Tertawa, Normandia Cousins, membahas artikel di halaman depan LA Times tentang permainan football SMU di mana empat orang menerima makanan yang mengandung racun. Dokter yang menangani kasus ini tidak pasti tentang penyebabnya, sehingga mengeluarkan pernyataan umum untuk menghindari mesin soft drink mandiri. “Saat pengumuman ini dibuat, 191 orang menjadi sangat sakit,” dan pergi ke rumah sakit, cerita Cousins. “Sangat jelas, bahwa otak telah memberi isyarat tertentu pada tubuh, dan tubuh telah memproduksi racun yang menimbulkan penyakit.”

Seorang ahli biologi sel dan peneliti Stanford, Bruce Lipton, Ph.D., menunjukkan beberapa contoh terbaru lainnya mengenai kuatnya pemikiran seseorang. Di dalam bukunya, Biology of Belief tertulis:

Suatu studi di Sekolah Kedokteran Baylor, yang diterbitkan pada 2002 di Jurnal Kedokteran Inggris mengevaluasi tindakan pembedahan pada pasien penderita sakit lutut yang parah. Ketua tim penulis Dr. Bruce Moseley, mengetahui bila pembedahan lutut akan dapat membantu pasiennya: “Semua ahli bedah mengetahui tidak ada efek placebo pada pembedahan.”

Tetapi Moseley mencoba untuk memahami bagian mana dari tindakan pembedahan yang meringankan pasiennya. Para pasien dibagi menjadi tiga kelompok. Pada kelompok pertama, Moseley meng-angkat tulang rawan yang rusak di lutut. Pada kelompok lain, dia membersihkan sendi lutut, menyingkirkan material yang dianggap menyebabkan efek peradangan. Kedua perawatan standar ini biasanya diberikan pada penderita encok lutut. Kelompok ketiga menjalani bedah pura-pura. Ketiga kelompok mendapatkan perawatan paska operasi yang sama, termasuk program pelatihan.

Hasilnya sungguh mengejutkan. Ya, kelompok yang menjalani tindakan pembedahan, seperti yang diharapkan, membaik. Tetapi kelompok yang mendapatkan Placebo juga membaik seperti dua kelompok lain! Terlepas dari fakta ada 650.000 penderita bedah encok lutut setiap tahunnya yang masing-masing menghabiskan biaya sekitar $5.000, hasilnya jelas bagi Moseley, “Keahlian saya sebagai ahli bedah tidak berguna bagi pasien-pasien ini. Tindakan yang membantu hasil pembedahan untuk osteoartritis lutut ini justru efek Placebo.”

Program acara televisi secara nyata menggambarkan hasil yang mengundang perhatian. Acara tersebut menunjukkan anggota kelompok placebo sedang berjalan dan bermain basket, ketika melakukan hal-hal tersebut mereka menyampaikan tidak dapat melakukannya sebelum dilakukan tindakan pembedahan.

Pasien dalam kelompok Placebo tidak mengetahui bila selama dua tahun mereka telah mendapat pembedahan pura-pura. Satu anggota kelompok Placebo, Tim Perez, yang berjalan dengan bantuan rotan sebelum pembedahan, kini mampu bermain basket dengan cucunya. Dia meringkas tema buku ini ketika dia menyampaikannya pada Discovery Health Channel, “Di dunia ini, apapun bisa terjadi jika Anda membulatkan pikiran. Saya mengetahui pikiran Anda dapat menghasilkan keajaiban.”

Sumber: erabaru.net

Efek Placebo Bukan Sekadar Dampak Psikologis

Efek placebo ternyata bukan hanya terkait dengan pikiran, tetapi menjangkau hingga ke tulang belakang.

Placebo adalah istilah medis untuk sejenis obat dan sistem pengobatan 'semu'. Orang yang sudah bergantung pada perspektif pengobatan medis tidak dapat menerima dan akan merasa lebih sakit ketika diberitahu bahwa sebetulnya penyakitnya dapat disembuhkan tanpa obat, atau hanya dengan cukup istirahat.

Pasien seperti itu biasanya berangsur-angsur menjadi sehat begitu mendapat suntikan, obat atau dioperasi, meskipun suntikan atau obat itu sebenarnya tidak mengandung sesuatu yang bersifat medis. Misalnya, bahan yang dimasukan melalui suntikan hanya cairan garam, pil berselaput gula, atau bahkan pembedahan tanpa pemotongan organ dalam.

Melalui berbagai kejadian dan percobaan, placebo terbukti menyumbangkan sekitar 35-75% kesembuhan pada pasien dengan beberapa jenis penyakit.

Kesembuhan itu diperkirakan bukan hanya diakibatkan oleh obat placebo, melainkan juga hal-hal lain yang di luar itu.

Sejumlah peneliti dari Jerman mengatakan, penemuan baru bahwa efek placebo juga mejangkau tulang belakang mungkin dapat membantu upaya mencari cara lebih baik untuk mengatasi rasa sakit dan gangguan lain.

Dengan menggunakan teknologi pencitraan modern, para peneliti itu menemukan fakta bahwa keyakinan sederhana pada pengobatan rasa sakit cukup efektif menghambat sinyal sakit di wilayah tulang belakang yang disebut the dorsal horn, yang memberikan mekanisme biologis yang kuat saat 'obat' itu bekerja.

"Ini berakar sangat dalam di area awal sistem syaraf pusat, dan memberikan dampak yang kuat," kata peneliti yang memimpin penelitian itu, Falk Eippert dari University Medical Center Hamburg-Eppendorf kepada Reuters.

Eippert dan sejumah koleganya menggunakan pencitraan resonansi fungsional, atau fMRI, untuk mengamati perubahan pada aktivitas tulang belakang.

Mereka memberikan panas yang menyakitkan ke lengan 15 pria sehat dan membandingkan respon tulang belakang saat mereka berpikir telah diobati dengan krim anestesi atau placebo.

Nyatanya kedua krim itu tidak aktif, tetapi hasil pemindaian fMRI menunjukkan kegiatan syaraf berkurang secara mencolok pada subjek yang merasa yakin mendapatkan anestesi.

Kemampuan obat palsu dengan komponen tidak aktif untuk menghasilkan keuntungan klinis secara nyata itu telah lama membingungkan para dokter dan membuat frustrasi para produsen obat. Para pasien biasanya diberi obat percobaan atau contoh dalam percobaan klinis dan ternyata mereka yang mendapatkan placebo juga membaik, sehingga sulit untuk memastikan apakah obat baru itu berfungsi.

Efek placebo cukup kuat pada pengobatan sistem syaraf, seperti depresi atau rasa sakit. Biasanya, para ahli melihat efek itu sebagai dampak psikologis. Tetapi penelitian baru di Jerman itu merupakan bukti terbaru bahwa ada komponen fisik yang penting.

Namun, apa yang menolak sinyal sakit pada tulang belakang saat placebo diberikan masih belum jelas. Meskipun Eippert menduga sejumlah bahan kimia termasuk opioids, noradrenaline, dan serotonin alami mungkin terkait dengan hal itu.

Dalam jurnal Science, Eippert dan para koleganya menulis bahwa penelitian mereka itu membuka kesempatan baru untuk memperkirakan kemanjuran dan lokasi yang memungkinkan untuk pengobatan baru bagi berbagai bentuk rasa sakit, termasuk rasa sakit yang kronis

Sumber: inilh.com