20 Jan 2010

Ancaman di Balik Obesitas

Di keluarga Indonesia masih banyak yang beranggapan anak bertubuh gemuk itu lucu. Padahal, di balik badannya yang besar itu menyimpan potensi penyakit-penyakit yang berbahaya.

Berkaca dari barat, riset terbaru yang digarap Universitas Essex, Inggris mendapati fakta; dalam satu dekade terakhir, anak-anak di kawasan Essex mengalami peningkatan berat badan secara signifikan sebesar 95 persen. Peneliti dari universitas tersebut menyimpulkan faktor aktivitas fisik yang rendah menjadi masalahnya.

Gaya hidup dan aktivitas fisik yang minim di zaman modern saat ini semakin banyak dituding sebagai penyebab semakin banyak anak di dunia Barat, mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Beberapa riset yang pernah dilakukan menyimpulkan hal tersebut.

Pada 1998 lalu, peneliti melakukan tes pada 303 anak dari enam sekolah berbeda untuk melakukan lari cepat sejauh 20 meter. Penelitian itu diulang kembali pada 2008, yang diikuti sejumlah anak berusia 10 tahun. Hasilnya, peneliti mendapati kesimpulan mengejutkan.

Peneliti mendapati perbedaan cukup besar dan mengkhawatirkan. Ketua Tim Riset Gavin Sandercock mengatakan, ukuran dari obesitas sendiri tidak cukup dengan melihat kesehatan anak di masa depan. Pihaknya membutuhkan sebuah program pengawasan aktivitas fisik anak-anak.

”Kita melihat generasi sekarang merupakan generasi yang menghabiskan waktu di depan televisi, entah itu komputer atau TV. Sekolah harusnya berusaha lebih keras, tapi kurangnya aktivitas yang terstruktur menjadi masalah,” ungkapnya seperti dilansir Telegraph.

Sementara itu, Presiden Fakultas Kesehatan Universitas Essex, Prof Alan Maryon Davis, mengatakan bahwa pihaknya harus memperhatikan aktivitas fisik anak-anak, mengingat fokus penanganan obesitas lebih terhubung pada kondisi kronis, seperti penyakit diabetes dan jantung.

Pemerintah Inggris sendiri telah melakukan berbagai upaya menangani masalah obesitas pada anak-anak, termasuk di dalamnya kampanye ”Kick-Started a Lifestyle” yang begitu digiatkan semenjak awal tahun ini. Sayangnya, kampanye itu belum jua mendapati hasil positif.

Diketahui, lebih dari sembilan juta anak di dunia berusia enam tahun ke atas mengalami obesitas. Itu menurut laporan Dennis Bier dari Pediatric Academic Society (PAS). Sejak 1970, obesitas kerap meningkat di kalangan anak, hingga kini angkanya terus melonjak dua kali lipat pada anak usia 2–5 tahun dan usia 12–19 tahun, bahkan meningkat tiga kali lipat pada anak usia 6–11 tahun.

Sementara itu, obesitas pada anak telah menjadi masalah yang serius di Indonesia. Dari penelitian yang dilakukan di empat belas kota besar di Indonesia, angka kejadian obesitas pada anak tergolong relatif tinggi, antara 10–20 persen dengan nilai yang terus meningkat hingga kini.

Definisi obesitas, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), merupakan keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak yang berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh-kembang anak sesuai jenis kelaminnya.

Sampai saat ini, penyebab tingginya angka obesitas pada anak-anak, terutama di Indonesia, masih simpang siur. Banyak kalangan yang menduga kuat akibat pengaruh jajanan yang kurang sehat dengan kandungan kalori tinggi, sehingga anak-anak cenderung lebih senang jajan daripada makan di rumah.

Penelitian dokter anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN Cipto Mangunkusumo Dr Damayanti R Syarif SpA(K) menunjukkan bahwa obesitas kerap terjadi pada golongan anak yang lebih senang jajan. Sayangnya, penjelasan ilmiah mengenai hal ini masih simpang siur.

Sampai saat ini para dokter harus puas dengan predikat ”multikausal” sebagai penyebab obesitas, keadaannya sangat multidimensional. Tidak hanya terjadi pada golongan sosio-ekonomi tinggi, sering pula pada sosio-ekonomi menengah hingga menengah ke bawah.

Selain itu, para ilmuwan juga sepakat bahwa obesitas pada anak cenderung terjadi akibat faktor lingkungan daripada faktor genetik. Alasan epidemisnya ialah sejak 1970-an hingga 2000-an merupakan waktu yang terlalu singkat untuk mengubah struktur genetik untuk menyebabkan perubahan pola prevalensi obesitas terkini. Obesitas akibat hiperlipidemia familial juga tidak menyebabkan angka yang sangat tinggi seperti saat ini.

Bagaimana dengan faktor sosial? Mafhum bagi kalangan medis bahwa obesitas pada anak telah menjadi masalah yang serius di Indonesia dan di dunia. Karena obesitas terjadi karena imbalans energi, pendekatan yang dilakukan ialah dengan menyeimbangkan pola makan dengan kebiasaan bermain atau berolahraga.

Demikian kompleksnya tujuan ini untuk dicapai, perubahan yang dilakukan harus secara sosial dan besar-besaran. Literatur kedokteran yang ada pun tidak ada yang dengan tepat mencantumkan bagaimana cara terbaik untuk melakukan perubahan di bidang ini. Dengan kata lain, masih dibutuhkan studi lebih lanjut di Indonesia tentang bagaimana mencegah obesitas sejak dini.

Menutup restoran cepat saji atau menertibkan tukang jajan di sekolah dasar tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kebiasaan-kebiasaan yang baik harus ditanamkan pada anak sejak dini. Para orangtua harus disiplin dan ”tega” mendidik anak untuk ke sekolah jalan kaki atau naik sepeda, daripada harus diantar-jemput.

Tidak baik untuk menuruti anak untuk sering makan di restoran cepat saji, budaya makan buah dan sayur harus sejak dini dibiasakan, dongeng-dongeng sebelum tidur ada baiknya kembali dibudayakan dengan cerita Popeye dan bayam, atau cerita bagaimana proses sebuah telur bisa menjadi ayam goreng superbesar dengan lemak tebal dan kulit renyah khas restoran cepat saji.

Tak kalah pentingnya ialah peran sekolah untuk menambah jadwal olahraga dan menyediakan media yang lebih baik bagi anak-anak untuk ”bermain” dan berolahraga. Sekolah juga sebenarnya menjadi kunci untuk menertibkan puluhan pedagang yang menyuguhkan makanan-makanan sangat tidak sehat.

Memang benar bahwa ”jajan” lebih tepat digolongkan sebagai kebiasaan, meski sudah dihalang-halangi bagaimanapun, anak-anak akan tetap mencari tukang jajan di mana-mana. Dengan demikian, kampanye menghindari jajan harus sangat rutin digembar-gemborkan. Para ilmuwan sebenarnya juga menyarankan pada pihak sekolah untuk memberi waktu luang 30 menit per hari untuk melakukan aktivitas kardiovaskular.

Sumber: okezone.com

Tidak ada komentar: